Senin, Maret 24, 2008

AYAT-AYAT KECEWA


Review atas Film Ayat-Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo

Bagaimana seandainya suatu bagian dari film yang sangat Anda sukai tiba-tiba diambil begitu saja untuk digunakan di film lain secara berlebihan. Misalkan saja, bagaimana seandainya score/musik film Godfather yang legendaris itu digunakan untuk film lain, atau misalkan score film Titanic yang masyhur itu dipakai oleh film lain secara jelas sekali dan tanpa “rekayasa” apapun. Terlepas pengambilan atau adopsi musik itu melalui prosedur resmi atau tidak. Mungkin hal ini akan Anda rasakan aneh atau ganjil. Hal semacam inilah yang juga saya rasakan dan agaknya cukup mengganggu saya ketika nonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) arahan Hanung Bramantyo yang saat ini laris di pasaran.

Adalah musik latarnya yang sangat mengejutkan saya. Bukan lagu Ayat-Ayat Cinta yang dibawakan oleh Rossa dan Sherina itu, namun backsound piano dan orkestra yang ada di hampir setiap adegan yang diasumsikan memancing emosi dan keharuan penontonnya. Lihatlah ketika adegan upacara pernikahan Fahri dengan Aisha. Atau ketika Fahri ada di “hotel prodeo” dan kemudian dikunjungi Aisha, atau pas adegan akhir di film ini. Belum lagi adegan-adegan lain—yang tentu saya akan lupa kalau disuruh menyebutkan satu persatu. Backsound adegan-adegan ini, ternyata menjiplak habis-habisan score/music dari film Korea Selatan favorit saya—Taegukgi—arahan sutradara Kang Je Gyu. Film ini diproduksi tahun 2004 dan berhasil menyabet beberapa penghargaan internasional, di samping juga sangat laris di pasaran domestik Korea Selatan sendiri.

Kebetulan saya sangat mengagumi film Kang Je Gyu ini (termasuk score-nya) sampai-sampai saya merekam manual musik latarnya ini menggunakan flash disk untuk sekedar saya dengarkan di komputer saya secara berkala. Memang, kadang kalau saya sangat suka dengan sesuatu, saya tak mudah melupakannya begitu saja. Dan untuk film Taegukgi, karena film ini merupakan one of the greatest film that ever i seen, maka saya rela repot-repot merekamnya, meskipun hasilnya kurang begitu bagus terdengar.

Kembali ke AAC. Film adaptasi dari novel yang berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy ini memang meledak di pasaran dan banyak dibicarakan orang untuk sekarang ini. Mungkin karena “kedorong” dengan kesuksesan novelnya juga, sehingga film ini dinanti-nanti para alumni pembaca novelnya, di samping juga—tahu sendiri lah…omongan dari mulut ke mulut eks penonton dengan calon penonton yang rata-rata para remaja seusia SMP dan SMA, di samping juga dorongan iklan di media yang sangat besar, sehingga sampai minggu ketiga Maret ini, berita yang saya terima menyebutkan bahwa film ini telah ditonton dua juta orang. Jumlah ini tentu besar sekali kalau dibandingkan dengan jumlah penonton untuk film-film Indonesia lain sekarang ini.

Sebelum nonton, saya cukup sadar dengan “identitas” film ini. Film ini diproduksi MD Entertainment dengan produsernya Duo Punjabi yaitu Dhamoo dan Manoj Punjabi, yang cukup terkenal dengan produksi sinetron popnya di televisi-televisi Indonesia. Kalau hanya melihat sisi ini, saya mungkin akan enggan nonton film produksi PH ini. Namun saya masih mempertimbangkan sosok Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya. Saya cukup mengapresiasi karya dia sebelumnya, yaitu Brownies. Brownies menurutku cukup bagus dan layak dipuji karena memang betul-betul cukup kuat sebagai sebuah film. Bahkan film ini mendapat beberapa penghargaan di Festival Film Indonesia, termasuk Penghargaan Sutradara Terbaik. Masalah sumber cerita film AAC ini—yaitu yang dari novel yang berjudul sama, saya juga tidak terlalu terobsesi—oleh sebab itu saya belum membacanya.

Film ini menceritakan kisah Fahri, mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Al Azhar, Kairo-Mesir, dengan empat gadis cantik, yang jatuh cinta kepadanya secara bersamaan. Film dibuka dengan pesona lantunan shalawat dari Emha Ainun Najib yang cukup berkarakter. Beberapa adegan pembuka memperlihatkan suasana di dalam flat Fahri (diperankan Fedi Nuril), ketika Fahri minta bantuan Maria (Gadis Kristen Koptik)—teman satu flatnya—untuk membetulkan komputernya yang kena virus. Ada sedikit adegan kocak di sini. Namun di adegan-adegan pertama inilah keningku memulai kerutannya, karena saya kira, musik latar di adegan ini mirip-mirip dengan musik di salah satu filmnya Nia Dinata. Adegan-adegan selanjutnya mengalir dengan biasa saja, nyaris tanpa memeras emosi psikologis saya sebagai penonton. Kemudian sampailah pada adegan Fahri menikah dengan Aisha—seorang Jerman. Musik pada adegan ini lagi-lagi langsung menghentak saya, karena saya cukup mengenal musik ini—yaitu musiknya film Taegukgi seperti yang saya sebut di atas. Saya mau tidak mau, langsung kecewa melihat hal ini. “Ah, lagi-lagi jiplak,” demikian gumamku.

Untuk selanjutnya saya sudah tidak bersemangat lagi nonton film ini karena banyak keganjilan-keganjilan lanjutan yang saya lihat. Proses pernikahan Fahri dan Aisha misalnya yang terlihat sangat instan. Bagaimana mungkin urusan nikah kok seperti memilih kucing dalam karung. Fahri cuma ta’aruf dengan Aisha dengan melihat paras ayunya kemudian langsung ho’oh, mau kawin dengannya, tanpa melalui proses “pengenalan dan pengakraban tahap lanjut” misalkan melalui diskusi, tukar pikiran atau sebagainya. Dan inilah yang terjadi ketika Aisha mulai curiga pada sosok Fahri—yang kemudian tersandung kasus kriminal setelah sebulan menikah. Dia “baru mulai” menyelidiki dan menginvestigasi sosok “misterius” suaminya tersebut. “Wah, apa udah nggak kesiangan?,” demikian saya pikir.

Keganjilan lain yang saya dapatkan adalah masalah bahasa. Pada adegan-adegan awal, terlihat bahwa bahasa Arab digunakan pada konteksnya secara benar, misalnya dialog Fahri dengan Maria di awal film. Namun pada beberapa adegan lain, pemakaian bahasa terlihat tidak pas konteksnya. Lihat saja ketika Fahri masuk penjara dan langsung disamperin teman satu selnya dan menyapa dengan memakai bahasa Indonesia. Lho kok? Benar memang, menurut saya, tahanan tersebut adalah orang Mesir atau paling tidak bukan orang Indonesia lah, tapi kok memakai bahasa Indonesia. Juga ketika dialog Aisha dengan pamannya (diperankan Surya Saputra), memakai bahasa Indonesia juga, bukan bahasa Jerman atau Arab misalnya. Dan pas adegan di pengadilan, hakim memakai bahasa Indonesia. Di sinilah menurutku Hanung kurang begitu cermat menggarap hal ini.

Hal lain yang membuatku semakin tidak berharap banyak pada film ini adalah pupusnya menikmati panorama dan keeksotisan Mesir sebagai latar tempat di film ini. Dengan adanya apologi yang menyebutkan, bahwa ada kendala masalah izin syuting di Mesir terkait dengan tingginya biaya, sehingga tidak bisa mengambil gambar di negara ini, dan kemudian agaknya disiasati oleh sutradara dengan lebih banyak mengambil gambar di indoor saja. Untung saja adegan-adegan di dalam ruangan ini banyak tertolong dengan kecemerlangan kamera dalam mengambil angle-angle gambar yang artistik.

Faktor lain yang agaknya cukup mengganggu adalah masalah casting pemain. Banyak pemain di film ini yang menurutku tidak cukup pantas memerankan perannya. Fedi Nuril agaknya kurang begitu tepat memerankan sosok Fahri yang digilai oleh banyak gadis. Karakter dan sosok Fedi terlalu lugu dan lembek di film ini, aktingnya pun biasa saja. Lalu ada banyak pemeran yang menurutku too much Indonesian faces. Lihat saja sosok yang memerankan paman Aisha, si Surya Saputra. Harusnya Hanung berani mencari orang yang betul-betul Jerman, atau minimal bule. Demikian pula sosok Marini yang memerankan Ibu si Maria, yang harusnya sosok permpuan Arab Mesir Koptik tulen. Sosok Rianti Cartwright yang memerankan Aisha juga terlalu MTV sehingga imej tersebut susah dihilangkan.

Akhirnya, hal yang juga patut dicermati dalam film ini adalah pemotretan isu poligami. Fahri—layaknya Don Juan—membuat banyak perempuan di sekitarnya klepek-klepek takluk kepadanya. Meski secara akting dan performa sangat jauh dari harapan, namun secara skenario—tuntutan cerita (dari novel), para perempuan tersebut akhirnya menjadi istri Fahri meskipun terfilter cuma dua orang yaitu Aisha dan Maria. Di sinilah saya kira peran si penulis novel yang menentukan. Habiburrahman menghembuskan isu poligami ini dengan sangat halus, meski pada akhirnya perspektifnya terlihat agak paternalistik, saya kira. Isu poligami yang di Islam sendiri menjadi isu yang terus “panas” dan “kontroversial”, di film ini menemukan suatu bentuk kasusnya tersendiri. Dan yang pasti, saya menduga banyak penonton yang melihat kasus poligami di film AAC ini pasti hanya manggut-manggut saja, mengiyakan, atau saya yakin, pasti sedikit orang yang menolak “deskripsi persuasif” dari penulis novel ini tentang isu poligami.

Secara keseluruhan memang film ini kurang begitu menggigit. Tampaknya ada “energi” yang belum keluar sepenuhnya dari Hanung, sehingga film ini terkesan biasa saja. Dan juga, tak ada sentuhan estetik baru yang ditawarkan Hanung dalam film ini. Mungkin keunikan film ini hanya pada teamnya. Film ini adalah film yang bernafaskan Islami dan dari novel Islami juga, namun disutradarai oleh sutradara “sekuler”, produser “sekuler”, dan para pemain yang mayoritas “sekuler” . Hal lain yang cukup positif adalah, film ini muncul di tengah serbuan film-film bergenre horror yang sedang menyesaki bioskop-bioskop Indonesia. Dan dari sisi sosial-budaya secara umum untuk melihat film ini, ada kecenderungan bertemunya tiga kompoenen kebudayaan, yaitu sisi ekonomi kapital, sisi religiusitas, dan sisi kesenian. Tiga komponen ini telah berjabat tangan erat untuk bersedia berjalan bersama sehingga didapat suatu bentuk ekspresi religiusitas, kesenian dan kebudayaan yang ngepop dan digandrungi banyak masyarakat. Gejala ini memuaskan mayoritas masyarakat pemirsanya, menggelembungkan uang produsernya, dan menambah daya jual sutradara dan para pemainnya. Namun demikian, seperti sifat-sifat budaya populer yang telah ada, saya yakin film ini hanya akan “dibicarakan sesaat” dan kemudiaan tenggelam digeser dengan “dagangan” baru yang lebih ngepop. Masuk nominasi festival film internasional? Hmm…Sangat pesimis deh…

Taxin

Jakarta, 23 Maret 2008

Senin, Maret 17, 2008

Cinema Paradiso dan Awal Sebuah Hasrat


Film bagiku adalah segalanya. Ungkapan tersebut mungkin terlalu berlebihan bagi orang lain, namun tidaklah demikian bagiku. Bagiku, nonton + mengapresiasi sebuah film adalah menu wajib setiap saat—ketika kondisi jiwa ini sedang senang, sedih, ataupun hanya mengambang saja. Melalui film, aku seperti dibawa ke arah dunia serba berkemungkinan, penuh kejutan, ketakterduagaan—mengutip sajaknya Chairil Anwar—“Terbang/Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat// the only possible- non stop flight/”.

Dari film juga, aku belajar dan menemukan banyak karakter yang mampu menopang dan membantuku membentuk sifat dan kepribadianku hingga semakin kuat dan matang. Bahkan menurutku—pengaruhnya jauh lebih terasa apabila dibandingkan misalnya dengan belajar memahami karakter dari kerabat ataupun teman dekat.

Dalam film, aku juga menemukan keindahan kompleks dari berbagai hal di dalamnya. Cerita yang bagus, angle-angle gambar yang artistic, acting yang memukau, dan musik yang indah. Lihatlah misalnya dalam film Cinema Paradiso karya Giuseppe Tornatore itu. Film Italia ini menceritakan persahabatan antara seorang anak kecil (Salvatore) dengan seorang projectionist (Alfredo) sebuah bioskop pertama (yang bernama Cinema Paradiso) di daerah Sisilia Italia pada tahun 1940-an.


Cerita bermula ketika Salvatore dewasa mendengar berita kematian Alfredo. Sontak berita tersebut mengembalikan memori indahnya bersama Alfredo semasa kecilnya dulu. Alur cerita pun flashback ke tahun 1940-an ketika Salvatore masih imut dan berusia 6-7 tahunan. Ketika Salvatore seusia itu, bioskop baru masuk ke Sisilia sebagai bentuk kesenian dan kebudayaan yang baru sama sekali. Tak heran apresiasi dan sambutan masyarakat di situ sangat tinggi. Begitu pun juga yang dirasakan Salvatore kala itu—sangat terpukau dengan “keajaiban” film.
Cinema Paradiso adalah satu-satunya gedung bioskop yang ada di situ. Dan tak heran, setiap pemutaran film, antrean penonton membludak luar biasa. Projectionist Cinema Paradiso adalah bernama Alfredo—seorang yang ramah dan baik, berusia sekitar 40 or 50 tahunan. Alfredo berteman baik dengan Toto kecil (panggilan akrab Salvatore). Setiap pemutaran film, Toto selalu mendampingi Alfredo dan perlahan-lahan menjadi asisten tersayangnya.


Banyak adegan menarik yang ada di film ini. Lihat saja, ketika para pendeta lokal bertindak sebagai “LSF”nya Cinema Paradiso secara langsung. Film-film yang membutuhkan pemadam kebakaran, alias film-film hot—yang banyak adegan erotisnya, diputar secara tertutup terlebih dahulu oleh Alfredo dan disaksikan oleh para pendeta yang kemudian memberi instruksi untuk “memotong” sebuah adegan ketika dirasa adegan tersebut mengandung unsur erotis meskipun belum tentu cabul. Dan lihatlah, ketika film-film tersebut lolos sensor dan diputar bebas ke penonton, setiap ada adegan yang “berindikasi” erotis, atau sedang dalam kondisi yang mau “memuncak”, tiba-tiba saja terpotong dan berganti adegan selanjutnya yang sudah “netral”. Para penonton—yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sontak memaki dan memprotes sembari berteriak “huuu…” ketika gagal menonton adegan “yang diharapkan” tersebut. Dari ruang projectionist, Alfredo (dan Toto) hanya tersenyum simpul menyaksikan ulah para penontonnya. Tak heran, scene ini membuatku tersenyum kagum mengapresiasi sebuah fragmen skenario yang hebat dari film ini.
Kembali ke cerita, suatu waktu, terjadi accident yang memilukan ketika ruang projectionist terbakar sehingga mengakibatkan mata Alfredo buta. Kejadian ini sangat menyedihkan Toto dan Alfredo. Akibat peristiwa ini, praktis tugas sebagai projectionist diemban Toto kecil dengan pengarahan Alfredo.


Cerita kemudian berlanjut ketika Toto menginjak remaja. Toto melanjutkan belajarnya sebagai seorang calon sineas di Roma. Dalam kurun usia remaja ini juga diceritakan tentang kisah cinta Toto terhadap seorang gadis yang sungguh manis. Di sini, ditampilkan bagaimana perjuangan Toto dalam mengambil hati gadis tersebut. Ketika usaha awalnya cenderung belum berhasil memikat hati gadis pujaannya, Toto kemudian berikrar pada si gadis bahwa dia akan setia menunggu “jawaban” setiap malamnya dengan berdiri dan memandangi kamar si gadis semalaman. Malam demi malam pun dilalui Toto dengan pengorbanannya tersebut. Hujan dan badai, sama sekali tak menyurutkan niat dan perjuangannya itu. Hati gadis mana yang tak tersentuh dengan perjuangan seorang pemuda yang cukup tampan, dan baik, yang menghendaki cintanya seperti itu. Si gadis akhirnya pun runtuh hatinya, dan bersedia membalas cinta Toto. So sweet…
Huh… sungguh luar biasa…aku hanya terpaku menyaksikan adegan-demi adegan yang memukau tersebut.


Film ini berakhir ketika Toto dewasa datang lagi ke Sisilia berkabung untuk kematian Alfredo. Ketika datang ke kota kecilnya tersebut, Cinema Paradiso masih tegak berdiri namun dengan wajah kusam, karena sudah tidak digunakan lagi sebagai gedung bioskop. Toto memandang masygul ke arah gedung tersebut. Gedung yang telah memberikan banyak kenangan manis untuknya, yang dulu menjadi primadona tempat hiburan masyarakat di situ, kini telah pensiun dan hanya menjadi seonggok bangunan yang muram. Toto perlahan memasuki gedung tersebut, sembari merasakan kehadiran dan kehangatan Alfredo yang disayanginya meskipun telah tiada. Di ruang projectionist, Toto menemukan gulungan film yang “agak misterius”. Penasaran dengan gulungan film ini, Toto kemudian memutar dan menontonnya. Pada moment inilah film ini menemukan puncak keindahan dramatiknya. Ternyata gulungan film itu adalah potongan-potongan film hasil sensoran para pendeta, yang dulu—oleh Alfredo—tidak dibuang atau dibakar, tetapi malah dirangkai menjadi sebuah montase yang memukau. Toto takjub menyaksikan potongan-potongan film yang berisikan various of kissing scene itu. Dulu sewaktu masih kecil, dia dilarang Alfredo ketika ingin ikut nonton film hasil sensoran tersebut. Adegan ini semakin sempurna dan begitu menyejukkan hati, ketika “dihajar” dengan backsound yang memikat dari composer Ennio Morricone. Ohhh…so fu*%^# perfect scene…


Tak heran film ini mendapat banyak pujian dari banyak kalangan. Academy Award 1989 mengganjarnya dengan penghargaan film berbahasa asing terbaik kala itu dan Festival Film Cannes 1989 menghadiahinya Special Jury Prize.

***

Cinema Paradiso aku tonton sewaktu masih kelas 2 atau 3 SMA dulu. Melalui film inilah terbuka mataku melihat film bukan hanya sebagai objek hiburan pemuas sesaat saja alias sebagai “sampah” budaya pop. Dan juga, kalau sebelumnya, wawasanku hanyalah pada film-film Hollywood yang stereotype, melalui film ini aku menjadi sadar bahwa ada “the others” yang sangat special dan selama ini luput dari pengamatanku.


Cinema Paradiso dan film-film sejenisnya yang selanjutnya kutonton semacam The Road Home (Zhang Yimou), Amelie (Jean Juennet), City of God (Fernando Meirelles), Amores Perros (Alejandro G. Inarritu), The Sea Inside (Alejandro Amenabar), Elephant (Gus van Sant) dan Rashomon (Akira Kurosawa), menurutku mempunyai kekuatan yang dahsyat sehingga dapat membuatnya eternal dikenang oleh para pengagumnya. Seperti kebanyakan film yang berkarakter kuat, film-film ini mungkin tidak sedap ditonton oleh penonton kebanyakan, yang hanya memerlukan satisfication sesaat—kemudian melupakannya begitu saja. Film-film ini juga—bagi mereka (pecinta budaya pop) mungkin tidak seru untuk ditonton, tidak menghibur, dan cenderung aneh. Sikap ini menurutku wajar saja untuk ada. Masyarakat pecinta budaya pop memang berkarakter begitu. Mungkin adanya analisis kebudayaan yang menyebutkan bahwa terdapat kategorisasi “budaya tinggi” yang bersifat elit, khusus, dan eksklusif dan “budaya massa” yang bersifat nge-pop dan massif ada benarnya juga.


Namun bagiku, pemilahan kategori tersebut yang menyebabkan kita— secara sosiologis berkebudayaan—bisa mendapatkan/memilih “posisi” tertentu atau sebuah “tempat” tertentu dari kedua kategori itu adalah benar adanya, tapi tidaklah sepenuhnya menjadi tujuan utama. Lebih lagi menurutku (secara pribadi), sebagai audience yang “otonom” (kalo istilah ini masih dianggap relevan) yang mempunyai kebebasan berselera dan berapresiasi dalam memilih suatu karya kebudayaan atau kesenian (dalam hal ini adalah film), faktor kedalaman dan keunikan artistik— termasuk keindahan-keindahan metafora di dalamnya, humanity values yang mencerahkan, dan orientasi penciptaan karya film yang tidak hanya menghamba pada kerakusan uang secara keterlaluan, melainkan lebih bervisi pada idealisme—adalah faktor yang sangat penting untuk dijadikan “standar” seleksi untuk menentukan, apakah film ini harus aku tonton, perlu aku tonton, atau hanyalah “sampah” yang aku buang ke keranjang sampah saja.
Pilihan dan kecintaan kita terhadap suatu karya seni inilah yang kemudian secara otomatis menentukan posisi kita sendiri dalam peta audience secara sosiologis.


Meski demikian, secara pribadi aku tidak begitu peduli mau ditempatkan/disebut sebagai “kaum elit” atau apa akibat pilihanku ini. Yang menjadi orientasi dan prioritasku dalam memilih dan menikmati suatu karya seni (audience) hanyalah faktor-faktor seperti telah kusebutkan di atas. Namun demikian, kadang-kadang pula aku temukan suatu karya seni pop yang juga bagus. Lihatlah pesona AADC karya Rudi Sujarwo itu, atau dalam industri pop Hollywood kita temukan film klasik Cassablanca, Titanic karya James Cameroon dan Lord of the Ring-nya Peter Jackson yang berhasil menyedot jutaan penonton. Karya ini sangat pop dan secara pribadi (without hypocrite) aku juga menyukainya. Tidak semua karya pop brengsek, asal dia kreatif dan tidak hanya menjadi hamba sahaya bagi uang (baca: produser) secara berlebihan dalam proses penciptaannya. Pertemuan antara idealisme estetik dengan modal yang bagus, sering pula terjadi dan ini merupakan hal yang sangat wajar. Kita bisa melihat banyak film yang “berhasil” setelah mengawinkan dua elemen ini. Kalau petanya Hollywood, kita bisa melihat di film Jurrassic Park, Lord of the Ring, Saving Private Ryan, dan Star Wars (kualitas estetik untuk film-film ini yang cenderung mengandalkan visual effect menurutku sangat relatif dan kontekstual: tergantung oleh ruang dan waktu). Ada juga film Hollywood yang dengan modal cekak, tapi dengan ramuan estetik yang tinggi, sehingga berhasil mengatrol eksistensi film tersebut ke puncak penghargaan para audience-nya, misalnya saja Crash, Mystic River, Million Dollar Baby, Boys Don’t Cry, American Beauty, Sideways, dan Little Miss Sunshine. Meskipun begitu, anggapan saya ini tentu saja sangat bisa didebatkan.


Sebagai perbandingan lain, ada juga kasus menarik menurutku yang menjadi catatan buruk seorang sineas yang mengorbankan idealismenya pada pasar. Sebagai contoh, lihatlah Rudi Sujarwo—salah seorang sutradara perintis kebangkitan era baru perfilman Indonesia. Film-film rilisan awalnya sangat kukagumi termasuk Bintang Jatuh, dan AADC. Rudi berhasil membawa warna baru dalam dunia film Indonesia yang kala itu tengah terpuruk. Bintang Jatuh lumayan bagus dan AADC satu tingkat di atasnya menurutku. Film-film dia berikutnya cukup lumayan bagus juga, seperti misalnya Mengejar Matahari dan 9 Naga, idealisme tetap ada di situ meski hasilnya tidak lagi sekuat AADC. Namun setelah itu, aku terkejut binti terperanjat, ketika dia ikut-ikutan bikin film hantu yang di Indonesia sedang ngetrend sekarang ini. Dia bikin Pocong 1 (yang tak lolos sensor LSF), Pocong 2 (berhasil beredar di pasaran) dan sekarang yang mau rilis adalah 40 hari Bangkitnya Pocong. Apa-apan ini?! Aku hampir nggak percaya dengan pilihan Rudi ini. Apakah Rudi tergiur dengan godaan uang sehingga bersedia mengorbankan idealismenya yang semula aku kagumi itu? Aku kira benarlah anggapanku ini, dan tentunya aku merasa kecewa. Sikap idealisme telah runtuh oleh kekuasaan uang. Sungguh menyedihkan bukan…

***
Taxin
Jakarta, 8 Maret 2008

Minggu, Maret 02, 2008

PERANG TAFSIR DAN PENTINGNYA PLURALISME


Alquran sebagai kitab suci dipandang sebagai teks kanon oleh umat Islam. Ia menjadi petunjuk dan referensi utama dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Permasalahan mulai timbul ketika “cara membaca” Alquran ditempuh dengan pelbagai macam metode dan teknik. Cara pembacaan dengan pendekatan, metode, teknik, ataupun angle yang berbeda-beda tentunya membawa hasil yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh, jika kita memotret suatu objek dengan angle, teknik, dan metode yang berlainan, tentu akan didapat hasil yang bermacam-macam pula.

Polemik seputar cara membaca atau menafsiri Alquran telah ada semenjak zaman antik Islam. Jalan panjang dan berliku pembacaan dan penafsiran Alquran tersebut telah melahirkan berbagai macam aliran/kelompok Islam mulai dari muktazilah, jabbariyah, asy’ariyah, murji’ah dan lainnya. Penafsiran Alquran secara politis juga melahirkan berbagai macam kelompok, seperti sunni, syi’ah, dan khawarij. Sampai sekarang tercatat berbagai macam identitas Islam mulai yang disebut fundamentalis, liberal, transformatif, tradisionalis, Islam kiri dan lain sebagainya. Semua ini adalah efek dari perspektif terhadap tafsir Alquran yang berbeda-beda. Bahkan di Indonesia sendiri kita lihat banyak sekali organisasi beridentitas Islam mulai dari NU, Muhamadiyah, Al Irsyad, HTI, MMI, FPI, JIL, Ahmadiyah, dan lain-lainnya yang semuanya mempunyai pemikiran dan doktrin yang berbeda-beda.

Alquran yang terus open ended

Keragaman dalam menafsiri Alquran tentu tidak lepas dari aspek kesejarahan Alquran sendiri.

Alquran yang diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun melalui Nabi Muhammad tentu merupakan bentuk intervensi langsung dari Allah terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi waktu itu. Allah secara langsung mengirimkan kalam-Nya yang transeden dan eternal melalui Jibril kepada Nabi Muhammad untuk kemudian diteruskan ke umat manusia sebagai petunjuk hidup dalam bentuk bahasa Arab yang menyejarah dan kontekstual.

Tidak ada problem yang terjadi seputar pengertian dan tafsir ayat-ayat Alquran semasa Nabi masih hidup. Karena, setiap ada masalah, bisa langsung dikonfirmasikan kepada Nabi dan beres.

Namun permasalahan mulai terjadi setelah wafatnya Nabi. Polemik seputar tafsir bahkan qiroat (bacaan) Alquran mulai muncul. Untuk qiroat Alquran, tercatat terdapat beberapa macam. Sampai pada khalifah Utsman bin Affan, Alquran kemudian dikodifikasi menurut “selera” Khalifah Utsman dan ahli-ahlinya menjadi korpus yang tertutup. Hasil kodifikasi itu dikenal sebagai Mushaf Utsmani, mushaf seperti yang kita baca sekarang ini (meski secara tanda-tanda linguistik berkembang dan berubah).

Polemik seputar tafsir Alquran berlangsung lebih dahsyat lagi. Sampai-sampai terjadi aksi kafir-mengkafirkan dan pertumpahan darah akibat perspektif yang berbeda-beda dalam menafsiri alqur’an, baik dari motif filosofis maupun politis. Bahkan dendam kesumat akibat efek yang terjadi 1400-an tahun yang lalu seputar konflik tafsir “politis” yang berbeda antara sunni dan syiah masih berlangsung sampai sekarang. Lihatlah aksi-aksi bom bunuh diri silih berganti terjadi antara pengikut sunni dan syiah di Iraq yang mengakibatkan banyak korban bergelimpangan. Ya, agama Islam yang harusnya membawa kedamaian malah menjadi tragedi berdarah yang berlangsung terus menerus bagai labirin yang tak berujung. Cukup menyedihkan.

Kembali ke Alquran. Allah menurunkan Alquran hanyalah sekali melalui Nabi Muhammad dan itu telah berlangsung 14 abad yang lampau, dengan segala keterbatasan kondisinya waktu itu (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan geografis). Sesuai dengan firmanNya, Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang terakhir dan diwahyukan melalui Nabi yang terakhir pula, yaitu Muhammad. Tidak mungkin ada sequel Alquran atau Alquran edisi revisi misalnya untuk zaman sekarang maupun masa mendatang. Sebagai teks yang juga telah menyejarah, Alquran tentu sekarang telah menjadi barang antik tapi populer. Antik disini diartikan merupakan teks kebahasaan yang menyejarah karena dicipta 14 abad yang lalu. Dan populer karena masih banyak orang yang secara terus menerus menafsirkan, memperhatikan dan memilikinya.

“Pengarang” dalam hal ini Allah tidak mungkin kita mintai legalisasi terhadap maksud tertentu suatu ayat. Dan Nabi Muhammad sebagai otoritas distributor pun telah tiada, hingga yang tersisa sekarang hanyalah hadits-hadits Nabi dan kumpulan tafsir dan pendapat fuqoha’ yang tentunya juga terikat konteks zaman dan makan. Hal ini berakibat Alquran sekarang ini adalah open ended. Kita sebagai pembaca diberi kebebasan yang bertanggung jawab untuk menakwil dan memahami Alquran secara proporsional dan kreatif untuk membantu memecahkan problem-problem kita sekarang ini. Alquran dalam hal ini diibaratkan hardware, yang tak akan mungkin berguna apabila belum disentuh atau dimasuki dengan metode penafsiran/penakwilan (software) yang brilian dan tepat sasaran. Di samping itu, Alquran juga memerlukan operator/penafsir yang kompeten, berintegritas, dan liberal.

Perlunya sikap pluralisme

Sebagai kitab suci umat Islam, Alquran tentu juga menjadi salah satu identitas primordialnya. Dan permasalahannya, bagaimana kita bersikap atau “membaca” Alquran untuk sekarang ini. Bagaimana kita memperlakukan Alquran dengan benar. Banyak sekali jenis perlakuan masyarakat kita secara pragmatis terhadap Alquran untuk sekarang ini. Mulai yang hanya menjadi objek bacaan ritual yang kering, bahan provokasi dakwah picisan untuk kepentingan tertentu, dan bahkan di sebagian kalangan mistik Alquran menjadi salah satu resep pengobatan atau lebih dikenal mujarobat serta digunakan untuk mengusir jin yang jahat. Di sejumlah kalangan yang moderat, Alquran juga digunakan sebagai spirit utama dalam transformasi di masyarakat dalam menghadapi ketidakadilan dan penindasan.

Dalam masalah tafsir dalam memahami teks Alquran, telah banyak metode tafsir yang ditawarkan. Mulai metode tafsir klasik yang cenderung literer seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalalayn, Tafsirul Manar, Tafsirul Munir hingga metode tafsir kontemporer hermeneutisnya Nasr Hamid Abu Zayd, metode tafsir dekonstruksi-nya Mohammed Arkoun, dan metode tafsir pembebasannya Farid Esack. Kesemuanya, baik yang klasik maupun kontemporer sekarang ini mengklaim metodenya yang paling benar. Layaknya penjual kecap—mereka berteriak: pilih kecapku, kecapku nomor satu. Bahkan ujung-ujungnya tetap stereotip, saling menjelek-jelekkan bahkan mengkafirkan. Nasr Hamid Abu Zayd contohnya, dianggap murtad oleh otoritas ulama Mesir. Nasr Hamid juga dipaksa bercerai dengan istrinya dan bahkan dipaksa mengasingkan diri ke Belanda.

Kelompok fundamentalis menganggap metode tafsir yang diusung Nasr Hamid dan Mohammed Arkoun kebablasan. Nas Hamid dan Arkoun dituduh melecehkan Alquran karena menganggap teks Alquran dapat ditelaah secara hermeneutis, layaknya karya sastra biasa.

Kelompok moderat dan liberal balik menuduh kaum fundamentalis adalah jumud dan terlalu konservatif. Mereka masih saja bergelut dengan “mimpi-mimpi salafiyyah”. Mereka juga cenderung memuja dan menyembah Alquran secara membabi buta, tanpa mampu untuk melepaskan “mimpi” mereka dan berhadapan dengan kenyataan yaitu ketidakadilan dan penindasan kemanusiaan yang berlarut-larut.

Bagaimana posisi kita sebagai muslim dalam menyikapi permasalahan perseteruan tersebut? Semua realitas itu menuntut kita untuk bersikap bijak dan lebih hati-hati dalam menyikapi keadaan. Kita mau tidak mau memang harus punya pilihan dalam menyikapi problem tafsir kitab suci tersebut. Apakah kita cenderung sepakat dengan pendapat kelompok ini atau lebih condong ke pendapat kelompok itu atau malah punya pilihan tafsir sendiri. Namun yang lebih penting, sikap pluralisme perlu kita kedepankan. Sikap yang mau menerima dan menghargai kehadiran “yang lain” yang berbeda dengan kita. Karena kebenaran absolut adalah milik Allah. Apalah artinya bila kita tetap memaksakan kehendak dan keyakinan kita apabila orang lain mempunyai keyakinan kuat lain seperti yang kita punya juga. Bukankah kita sering juga mengucapkan wallahu a’lam bi al-shawaab, setelah kita membaca, menulis dan menafsiri suatu ayat Alquran. Hal tersebut mencerminkan kerendah hatian kita bahwa tafsir kita mungkin salah, karena yang paling mengetahui yang sebenarnya adalah Allah shubhanahu wata’ala sendiri.

Lagi pula Alquran sebagai pedoman kita, bukanlah satu-satunya “sumber mata air” hukum bagi kita. Bukanlah dalam suatu riwayat diceritakan bahwa saat Nabi Muhammad melepas Muaz bin Jabbal pergi ke Yaman, Nabi berkata, “Jika kamu menjumpai persoalan, maka carilah dalam Alquran. Jika tidak ada, carilah dalam sunnahku. Tapi jika dalam dua sumber itu tidak ada, berijtihadlah dengan pikiranmu yang sehat.” Dari riwayat itu maka kita dapat menarik pemahaman bahwa Alquran sebagai korpus tertutup, terlalu sempit untuk kita jadikan satu-satunya sumber hukum kita. Di samping berpedoman pada Alquran dan sunnah Nabi, kita diberi hak dan kebebasan untuk berijtihad dan berikhtiar sendiri untuk memecahkan suatu masalah demi kemaslahatan bersama.

Alquran sebagai salah satu sumber hukum dan identitas primordial kita sebagai umat Islam, baiknya tetap kita hormati sewajarnya. Alquran juga harus kita apresiasi secara lebih kreatif sehingga melalui spirit religio etiknya dapat memunculkan gerakan yang dapat menghalau eksploitasi dan penindasan terhadap kemanusiaan, seperti apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad di Madinah, Farid Esack di Afrika Selatan, dan Moeslim Abdurrahman (melalui teologi Islam transformatifnya) di Indonesia. Sehingga, sebagai teks yang antik, Alquran tetap bisa menebar pesonanya pada umat Islam—sehingga pula, mengikuti jingle iklan salah satu majalah di Indonesia—Alquran tetap “enak dibaca” dan perlu. Wallahu a’lam bi al-shawaab.***