Kamis, November 12, 2009

Bahasa Indonesia, Riwajatmoe Doeloe Hingga Kini…

Seperti tahun-tahun sebelumnya, bahasa Indonesia mendapat sorotan dan perhatian lebih pada bulan Oktober. Bulan Oktober telah dikenal dengan bulan bahasa. Sejarah telah mencatat bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari pelbagai suku dan wilayah di Indonesia berkumpul dan mengadakan Kongres Pemuda Indonesia II di Jakarta dan mengikrarkan sebuah sumpah yang amat terkenal yaitu Sumpah Pemuda yang berbunyi:

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Poin ketiga Sumpah Pemuda di atas menyebutkan bahwa bahasa Indonesia dijunjung sebagai bahasa persatuan. Momentum Sumpah Pemuda inilah yang kemudian membawa bahasa Indonesia memulai sejarah panjangnya di negeri ini sebagai (satu-satunya) bahasa resmi negara.

Adalah seorang Muhammad Yamin, pemuda asal Minangkabau yang kala itu mengusulkan adanya bahasa persatuan Indonesia. Dalam pidatonya dalam kongres tersebut, Yamin mengatakan bahwa jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusasteraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, kata Yamin, bahasa Melayulah yang lambat-laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Pidato Yamin ini mendapat sambutan hangat dari para hadirin peserta kongres. Dan pada puncaknya, naskah Sumpah Pemuda, seperti tertulis di atas, berhasil mencantumkan tentang bahasa persatuan Indonesia, yakni bahasa Indonesia. Naskah Sumpah Pemuda ini ditulis sendiri oleh Yamin.

Di tengah-tengah semangat menggebu untuk merdeka pada saat itu, jelas menunjukkan bahwa ikrar menjunjung bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa persatuan, adalah suatu ikhtiar perjuangan yang sangat berarti. Pada waktu itu, bahasa Indonesia—yang berasal dari bahasa Melayu—merupakan bahasa percakapan yang banyak dipakai oleh masyarakat tanah air selain bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia menyisihkan bahasa Belanda dan bahasa Jawa adalah sesuatu yang menarik. Bahasa Belanda pada waktu itu banyak digunakan khususnya di kalangan pemerintahan kolonial, para priyayi, dan kalangan terpelajar. Namun bahasa ini tidak (diusulkan) menjadi bahasa persatuan, tentu saja karena permasalahan semangat nasionalisme dan hasrat untuk merdeka di kalangan masyarakat Indonesia pada waktu itu dengan tidak menggunakan hal-hal yang berbau pemerintah kolonial, termasuk bahasa Belanda. Tidak terpilihnya bahasa Jawa juga menjadi sesuatu yang patut disyukuri. Meski Jawa adalah suku yang sangat besar dan bahasa Jawa banyak mendominasi juga waktu itu, namun karena karakteristiknya yang “tidak demokratis” yaitu adanya hierarki bahasa di dalamnya (kromo alus, madya, dan ngoko) sehingga semangat kesetaraan yang menunjang perjuangan tidaklah tampak ada, maka bahasa ini tidak terpilih.

Satu dasawarsa setelah Sumpah Pemuda, yaitu pada tanggal 25-28 Juni 1938 di Solo, eksistensi bahasa Indonesia semakin terlihat dengan dilangsungkannya Kongres Bahasa Indonesia I. Kongres ini berhasil menelurkan kesepakatan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Hal ini terlihat pada beberapa tahun sebelum kongres ini diadakan, telah terjadi beberapa gejala dan peristiwa penting menyangkut bahasa dan sastra Indonesia. Yaitu pada tahun 1933, muncullah angkatan sastrawan Pujangga Baru yang dimotori Sutan Takdir Ali Syahbana, Abdul Muis, Marah Rusli, Sanusi Pane, dll. Pada tahun 1936, Sutan Takdir Alisyahbana membuat suatu buku yang berjudul “Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia”. Buku ini menjadi buku perintis yang bersifat akademik pada masa-masa itu tentang bahasa Indonesia.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, ditandatanganilah UUD 1945 yang salah satu pasalnya (pasal 36), menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Dengan dikeluarkannya ketetapan ini, maka bahasa Indonesia secara resmi dijamin keberadaannya oleh konstitusi utama di negeri ini.

Dua tahun setelah kemerdekaan, Pemerintah RI melalui Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu memberlakukan ketentuan ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini kemudian juga dikenal dengan nama “Ejaan Soewandi”, mengambil nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, yaitu Soewandi. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901 di masa kolonial.

Perbedaan-perbedaan antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen ialah:

  • bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat;
  • kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an;
  • awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.

Ejaan Soewandi ini berlaku sampai tahun 1972 lalu digantikan oleh Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada masa awal Orde Baru. Tepatnya tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia saat itu, meresmikan penggunaan EYD melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

EYD ini mengubah beberapa ejaan dari periode sebelumnya yaitu: tj menjadi c (misal: tjinta menjadi cinta), dj menjadi j (misal: djandji menjadi janji), ch menjadi kh (misal: chawatir menjadi khawatir), nj menjadi ny (njawa menjadi nyawa), sj menjadi sy (misal: sjahdan menjadi syahdan), j menjadi y (misal: jang menjadi yang), dan oe menjadi u (misal: oemoem menjadi umum).

Pada zaman Orde Baru, dikenal juga istilah “berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Pada zaman ini, bahasa juga banyak digunakan untuk jargon-jargon dan istilah-istilah yang kering dan seragam untuk kepentingan politik tertentu, sehingga mengerdilkan potensi dan dinamika bahasa itu sendiri. Jargon-jargon dan istilah-istilah seperti, “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”, “Aman Terkendali”, Gerakan Disiplin Nasional”, “Menurut Petunjuk Presiden”, “Bahaya Laten”, dan lain-lainnya, akrab di telinga kita semasa rezim ini.

Di zaman reformasi, bahasa Indonesia mengalami banyak perkembangan. Dengan suasana negara dan bangsa yang lebih demokratis, ternyata mempengaruhi perkembangan “kehidupan” bahasa Indonesia juga. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dinamis, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Baru-baru ini, yaitu pada bulan Juli 2009, bahasa Indonesia diatur secara lebih rinci oleh pemerintah melalui UU Nomor 24 Tahun 2009. Dalam undang-undang ini disebutkan tentang kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Fungsi bahasa Indonesia disebutkan sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Dalam undang-undang ini juga disebutkan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pelbagai hal.

Dengan diberlakukannya undang-undang kebahasaan ini, bahasa Indonesia telah mengalami sejarah baru dalam menghadapi segala dinamika peradaban yang ada, yang mudah-mudahan menuju ke arah yang lebih positif.

Jakarta, 20 Oktober 2009