Jumat, Juli 04, 2008

Menyentuh Hati lewat Cinta (Monyet)


Review film Mukhsin karya Yasmin Ahmad

Film Mukhsin merupakan film Malaysia pertama yang saya tonton. Cukup ironis memang, melihat Malaysia yang merupakan “saudara” serumpun Indonesia yang letak geografisnya paling dekat, ternyata tidak menjamin “lalu lintas” perfilman di dua negara ini menjadi lancar. Saya pikir, hal ini tentu berhubungan dengan monopoli distribusi perfilman di kedua negeri ini yang dikuasai 21 yang umumnya menampilkan film-film Hollywood.

Yang saya akrabi tentang Malaysia dalam soal film selama ini hanyalah dalam hal subtitle-nya yang sering saya jumpai di DVD-DVD film orba (ori tapi bajakan). Dalam subtitle Malay tersebut, istilah-istilah Melayu seperti “Pak Cik”, “pusing-pusing”, dan lain-lainnya cukup populer, dan kadang malah menjadi sumber “lelucon” linguistik secara pragmatis.

Saya beruntung bisa “menemukan” film Mukhsin ini dari sebuah rental DVD film-film festival di kawasan Tebet dan kemudian menontonnya. Pada Jiffest 2007 lalu, sebetulnya film ini pernah ikut diputar di seksi pemutaran film-film Asia Tenggara. Namun karena suatu hal, saya tidak berhasil menontonnya.

Mukhsin (2007) merupakan film terakhir dari trilogy Orked. Dua film sebelumnya adalah Sepet (2004) dan Gubra (2006). Sengaja saya menonton Mukhsin terlebih dahulu, karena “termakan” persuasi “guider” rental DVD nya, yang menerangkan tentang “alur” hidup tokoh utamanya di trilogy itu, yakni Orked. “Di Mukhsin, Orked masih kecil, sedang di Sepet dan Gubra, Orked telah dewasa”, demikian penjelasan guider. Saya kemudian “mengikuti petunjuk” sang guider, dan lalu mencomot Mukhsin untuk saya bawa pulang dan kemudian saya tonton.

Film ini menceritakan kisah cinta pertama Orked (10 tahun) dan Mukhsin (12 tahun). Pada adegan pertama diceritakan Orked (10 tahun) yang secara “personal” diberi tugas gurunya untuk membuat karangan cerita selama liburan sekolah yang sudah di depan mata. Orked menerima tugas itu dengan lapang dada meski dia sendirian yang diberi tugas sementara temen-temannya lain tidak.

Orked-pun pulang ke rumah dan berencana menghabiskan liburannya di kampungnya. Di adegan-adegan selanjutnya diperlihatkan sosok Orked yang kelihatan tomboy. Orked ogah ketika diajak main pengantin-pengantinan bersama teman-teman perempuannya, dan lebih memilih bermain dengan temen-teman lelakinya. Di sinilah kemudian Orked berkenalan dengan Mukhsin (12 tahun), teman sepermainannya yang merupakan “orang baru” di kampungnya. Mukhsin berasal dari keluarga berantakan dan memilih tinggal bersama bibinya di kampung tersebut. Jalinan persahabatan antara Orked dan Mukhsin berkembang akrab. Mukhsin pun terlihat dekat dengan Orked dan keluarganya. Sering Mukhsin diajak nonton bola bersama keluarga Orked.

Melalui kedekatan yang akrab, tak terasa benih-benih cinta pun muncul di antara kedua insan kecil itu. Benih cinta yang sederhana. Yang merupakan sesuatu yang ”orisinal” dan pertama dialami oleh keduanya, yaitu cinta pertama.

Keduanya pun “bergaya pacaran” dengan mesranya. Mukhsin memboncengkan Orked di sepeda bututnya keliling kampung. Duduk “bahagia” berdua di sebatang pohon yang berhasil mereka panjat. Dan bermain layang-layang berdua di persawahan hijau. Pengambilan gambar di adegan-adegan ini sering dibuat statis. Lanskap-lanskap bersetting kampung seperti pepohonan rindang, hamparan sawah yang menguning, dan jalan-jalan setapak kampung terlihat tampak elok terlihat. Sutradara kayaknya ingin mengoptimalkan ”suasana” yang terbangun dan akting kedua bocah kecil ini yang natural. Patut dicatat--- menurut keterangan yang saya dapat—pemeran Orked (Syarifah Aryana) dan Mukhsin (Mohd. Syafei Naswip) adalah ”orang biasa”, yang belum mempunyai pengalaman main film sebelumnya.

Hubungan mesra Orked dan Mukhsin kemudian retak, setelah terjadi insiden pertengkaran kecil di antara keduanya. Orked ngambek, dan tidak mau menemui Mukhsin lagi. Mukhsin dengan segala usahanya mencoba menemui Orked, namun tidak pernah berhasil bahkan hingga kepergiannya dari kampung tersebut karena dijemput ayah kandungnya.

Secara umum film ini cukup jujur mengeluarkan “perasaan” sutradara dan penulis ceritanya yang kebetulan sama yaitu Yasmin Ahmad. Yasmin tampaknya cukup los mengeluarkan segala imaji-imajinya dalam bentuk dialog-dialog, cerita dan gambar-gambar yang indah di film ini. Lihatlah ”tampilan” keluarga Orked yang ”unik”. Lihatlah dialog kecil Mukhsin dan Orked ketika mereka berpacaran di sepeda butut Mukhsin. Juga scene ketika Kak Yam (pembantu rumah tangga keluarga Orked—diperankan dengan bagus sekali oleh Adibah Noor) ”ngerjain” Mak Inom (Ibu Orked) saat dialog kecil soal Nina Simone—penyanyi lagu Ne Me Quitte Pas (Don’t Leave Me) yang juga menjadi soundtrack film ini. Lihatlah pula adegan terakhir film ini ketika Orked (dengan suara telah dewasa) membacakan sebuah puisi lama karya penyair Polandia- Wislawa Szymborska yang begitu menyentuh hati, untuk mengenang keagungan cinta pertamanya itu. Berikut bait puisinya:

The minute I herad my first love story

I started looking for you

Not knowing how blind that was

Lovers don’t finally meet somewhere

They’re in each other all along


Dan menurut saya, yang paling ”kuat” dalam film ini adalah tata-musiknya. Film ini merupakan salah satu film yang cukup berhasil menyajikan score yang “akan selalu diingat” penontonnya (terutama untuk penonton Indonesia). Apa pasal? Dalam film ini, Yasmin menampilkan lagu keroncong (yang tentu sangat khas Indonesia). Saya sendiri cukup terkejut dengan munculnya lagu keroncong di film ini. Saya pikir, keroncong—seperti halnya dangdut, adalah musik khas Indonesia dan hanya ada di Indonesia, tapi ternyata di Malaysia, musik keroncong juga ada. Lagu ini berjudul Keroncong Hujan. Muncul di awal dan akhir film.

Pada kemunculannya di awal film, lagu ini dimainkan secara “unplugged” oleh Pak Atan (ayah Orked) dan teman-temannya di depan rumah, “diiringi” adegan Orked yang menari lepas bersama Mak Inom (Ibunya) di halaman rumahnya ketika kemudian gerimis air hujan turun ke bumi.

Lagu ini kemudian muncul kembali di akhir film. Memaksa penonton untuk ikut tersenyum “bahagia” menyaksikan adegan “kebersamaan”para kru film plus Yasmin sendiri, berkumpul di tengah-tengah Pak Atan (asli) yang memainkan piano dan Mak Inom (asli) yang bertindak sebagai vokalis untuk menyanyikan sebuah lagu yang mencerminkan keagungan Tuhan dan rasa syukur atas indahnya kebersamaan ini.

Berikut lirik lagu Keroncong Hujan—yang setelah saya selesai nonton film ini, masih saja terngiang-ngiang di benak saya. Lirik lagu yang membikin saya merasa “fly”…

Mega mendung di angkasa
Hembusan bayu dingin terasa
gerimis berderai di merata
bagai mutiara

Rahmat dibawa bersama
Limpahannya meresap dijiwa
adakala bahgia terasa
meskipun duka nestapa

Tika hujan turun
sayup mendayu lagu keroncong
merdu irama dialun
bersenandung

Hujan membasahi bumi
melahirkan keluhuran budi
mengeratkan perpaduan suci
kasih sayang abadi

“Everyone has a first love story to tell”, demikianlah kalimat prolog di trailer film ini. Kalimat yang membuat saya terbawa kembali ke masa lalu ‘tuk bernostalgia ke masa ABG saya—mengenang “my first love” yang selalu membuat dada saya berdebar-debar, bukan karena sakit “jantungan”, namun karena sentuhan kelembutan cinta.

Jakarta, 1 Juli 2008